Dengarkan Wiranto, KontraS minta pencapresan Prabowo dibatalkan

Keterangan pers mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI (Purn) Wiranto terkait kasus penculikan pada periode 1997-1998 dinilai semakin menjelaskan soal keterlibatan LetjenPrabowo Subianto . Oleh karenanya, proses hukum terhadap Prabowo semakin penting untuk segera dilakukan. 

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mengatakan proses hukum itu baik hukum militer maupun Pengadilan HAM. "Keduanya sama-sama penting," tegas Haris di Jakarta, Kamis (19/6).

Haris mengingatkan, Prabowo belum pernah mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. "Yang diadili hanya prajurit saja. Dan itu pun mereka dibebaskan oleh MA. Saya rasa Prabowo sudah banyak menikmati keuntungan sebagai anggota militer dan sebagai anak mantu Soeharto ," kata Haris.

"Dilihat dari berbagai kasus yang melibatkannya justru (Prabowo) hanya diberikan sanksi administrasi, berupa diberhentikan," kata Haris menyesalkan.

Dengan semakin terbukanya kasus ini, kata Haris, seharusnya Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) segera membatalkan pencapresan Prabowo sampai ada proses hukum yang jelas. 

"Sedangkan proses hukum seharusnya dikontrol perkembangannya dan di-back-up oleh presiden. Apalagi presiden sudah jelas dapat rekomendasi dari DPR untuk segera mencari mereka yang hilang, membuat pengadilan HAM, memperbaiki kondisi korban," ujarnya.

"Kalau SBY diam dan masih saja diam kita patut curiga memang SBY adalah bagian dari rezim Prabowo ke depannya. Hal ini sudah terlihat dengan Demokrat yang dukung Prabowo. Picik sekali," tegas dia.

Soal keterangan bahwa Prabowo melakukan tindakan-tindakan di luar kehendak, perintah ataupun standar aturan militer alias sering membangkang, Haris menyatakan kecewa pada Wiranto . 

"Kok tidak terbuka bahwa ada 'gap' antara Prabowo Subianto dengan petinggi-petinggi ABRI saat itu, karena dia anak mantu Soeharto ," ujar dia. 

Seperti diberitakan, Wiranto menegaskan tidak pernah memerintahkan penculikan. Hal itu dikatakan Wiranto untuk menjawab pernyataan Prabowo dalam acara debat capres Minggu lalu bahwa dia mempersilakan pertanyaan soal penculikan ditanyakan kepada atasannya.

Wiranto menjelaskan, penculikan oleh oknum Kopassus TNI AD terjadi pada medio Desember 1997 sampai dengan Maret 1998. Pada saat penculikan berlangsung, Panglima ABRI dijabat oleh Jenderal Feisal Tanjung (kini almarhum).

"Namun pada bulan Maret, 7 Maret tepatnya, pada saat kasus itu harus dibongkar, saya kebetulan saat itu sudah menjadi Panglima ABRI," kata Wiranto di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (FORUM KPK) Jl HOS Cokroaminoto 55 - 57 Jakarta Pusat, siang tadi.

"Waktu terjadi (penculikan) panglimanya yang lama, dan saat pengusutan panglimanya yang baru," imbuh Wiranto .

Kepada Feisal Tanjung, Wiranto juga pernah menanyakan apakah pernah ada perintah penculikan dan tindakan represif lainnya saat dia menjabat Panglima ABRI. "Beliau jawab, tidak, tidak pernah," kata Wiranto mengutip Feisal saat sudah pensiun.

"Saya juga mengatakan tidak pernah (memerintahkan penculikan)," tegas Wiranto yang mengenakan kemeja putih ini.

Saat melanjutkan kebijakan ABRI, Wiranto menjelaskan, melakukan cara-cara persuasif, dialogis dan tanpa kekerasan dalam menghadapi aktivis mahasiswa.

"Cara-cara kekerasan, represif hanya digunakan apabila terpaksa dan hanya atas perintah panglima," ujar dia.

"Dengan demikian, tidak ada kebijakan dari pimpinan ABRI yang ekstrim waktu itu untuk memerintahkan melakukan penculikan," tegas Wiranto .

Kepada Prabowo yang dicopot karena melakukan penculikan, Wiranto mengatakan pernah menanyakan tindakan tersebut.

"Saat saya dialog dengan Prabowo Subianto , kepada yang melakukan hal itu. Saya yakin itu dilakukan atas inisiatif sendiri atas dasar analisis keadaan pada saat itu," ujarnya.

"Itu sudah saya laporkan saat itu, bukan hal baru. Jangan dianggap ini hal baru. Hasil analisis pribadi, bukan perintah Panglima ABRI, ini supaya jelas," tegas dia.

0 komentar: